Satu-satunya
orang yang selamat dari kecelakaan sebuah kapal, terdampar di sebuah pualu yang
kecil dan tak berpenghuni. Pria ini segera berdoa supaya Tuhan
menyelamatkannya, dan setiap hari dia mengamati langit mengharapkan
pertolongan, tetapi tidak ada sesuatupun yang datang. Dengan capainya, akhirnya
dia berhasil membangun gubuk kecil dari kayu apung untuk melindungi dirinya
dari cuaca, dan untuk menyimpan beberapa barang yang masih dia punyai. Tetapi
suatu hari, setelah dia pergi mencari makan, dia kembali ke gubuknya dan
mendapati gubuk kecil itu terbakar, asapnya mengepul ke langit. Dan yang paling
parah, hilanglah semuanya. Dia sedih dan marah, “Tuhan, teganya Engkau
melakukan ini padaku?”. Dia menangis.
Pagi-pagi
keesokan harinya, dia terbangun oleh suara kapal yang mendekati pulau itu.
Kapal itu datang untuk menyelamatkannya.
“Bagaimana
kamu tahu bahwa aku di sini?” tanya pria itu kepada penyelamatnya.
“Kami melihat
tanda asapmu,” jawab mereka.
Mudah sekali
bagi kita untuk menyerah ketika keadaan dalam hari-hari hidup kita menjadi
buruk. Ketika masalah dalam rumah tangga, suami dan istri, orang tua dan anak,
saudara dan saudara datang, atau masalah dalam pekerjaan, atau dalam pelayanan,
atau ketika kita kehilangan hal-hal yang kita kasihi, dengan sangat mudah kita
langsung menyerah dan mengambil pikiran-pikiran negatif. Padahal tanpa kita
sadari, ketika pikiran negatif atau menyerah adalah hal pertama yang kita
lakukan, secara psikologi, tubuh kita dapat menjadi tidak seimbang, sakit dan
lain sebagainya. Di sini artinya kita dirugikan. Lalu secara spiritual pun,
relasi kita dengan Allah menjadi jauh. Mengapa? Karena kerapkali dalam
situasi-situasi sulit tersebut, orang yang pertama kali kita persalahkan adalah
Allah.
Dalam
menjalani kehidupan sebagai orang Kristen, sebenarnya ada banyak hal yang patut
kita syukuri. Syukur yang terbesar adalah karena kita memiliki Allah yang
senantiasa mengasihi kita. Ketika kita mengatakan bahwa Ia meninggalkan kita,
sebenarnya justru kitalah yang sedang meninggalkan Dia. Dia sendiri tidak
pernah lengah sedikitpun untuk memperhatikan dan menggandeng tangan kita. Lalu
bagaimana kita bisa melihat penyertaan-Nya? Salah satunya lewat Firman yang Ia
sudah berikan kepada manusia, melalui Alkitab yang dapat kita baca setiap saat,
setiap waktu, kapanpun dan di manapun. Mari kita lihat bersama,
Ketika
kita berkata, “Itu tidak mungkin.”
Tuhan
berkata, “Tidak ada hal yang tidak mungkin.”
(Lukas
18:27)
Ketika
kita berkata, “Aku terlalu capai.”
Tuhan
berkata, “Aku akan memberikan kelegaan kepadamu.”
(Matius
11:28)
Ketika
kita berkata, “Tidak ada seorangpun yang mencintai aku.”
Tuhan
berkata, “Aku mencintaimu.”
(Yohanes
13:16)
Ketika
kita berkata, “Aku tidak mengerti.”
Tuhan
berkata, “Aku akan menuntun langkah-langkahmu.”
(Amsal
3:5-6)
Ketika
kita berkata, “Aku tidak bisa melakukannya.”
Tuhan
berkata, “Kamu bisa melakukan semuanya.”
(Filipi
4:13)
Ketika
kita berkata, “Aku tidak bisa memafkan diriku sendiri.”
Tuhan
berkata, “Aku memaafkanmu.”
(I
Yohanes 1:9)
Ketika
kita berkata, “Aku tidak bisa mengatasi.”
Tuhan
berkata, “Aku akan menyediakan kebutuhanmu.”
(Filipi
4:19)
Ketika
kita berkata, “Aku selalu kuatir dan frustasi.”
Tuhan
berkata, “Serahkanlah segala kekuatiranmu kepadaku.”
(I
Petrus 5:7)
Ketika
kita berkata, “Aku tidak mempunyai iman yang kuat.”
Tuhan
berkata, “Aku memberi setiap orang iman menurut ukurannya.”
(Roma
12:3)
Ketika
kita berkata, “Aku merasa sendirian.”
Tuhan
berkata, “Aku tidak akan pernah meninggalkanmu atau membiarkanmu.”
(Ibrani
13:5)
Lihat, betapa
indah bukan penyertaan Bapa. Kita dapat melihatnya melalui banyak hal dalam
kehidupan kita sehari-hari. Dan supaya bisa melihatnya, ingatlah selalu
penyertaan Bapa yang lebih indah daripada emas, dan lebih manis daripada madu
manapun di dunia ini.
Tuhan Allah
memberkati kita sekalian.
Jakarta, 05 Oktober 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar